masukkan script iklan disini
trilokanews.com - Musi Rawas - Ada yang janggal rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama Kepala OPD dan staf yang mendampingi atau mewakili Kepala OPD, yang dilaksanakan diruang rapat Paripurna DPR Kabupaten Musi Rawas, tiba-tiba pihak Staf Dewan menyuruh keluar alasan ini rapat internal TAPD tak boleh diwakilkan dan juga wartawan yang saat ingin meliput rapat tersebut disuruh keluar dengan alasan ini rapat tertutup. Selasa, 23 Desember 2025.
Tim Trilokanews Group mempertanyakan kepada staf dewan yang menyuruh keluar bahwa ini rapat tertutup. Staf Dewan sdr. Eko menyampaikan bahwa dilarang masuk ini rapat internal OPD dengan Dewan, terkait TAPD yang boleh dihadiri langsung oleh Kepala OPD nya. Terkait kenapa menggunakan ruang paripurna untuk rapat internal ini dikarenakan ruang komisi tak cukup dan ruang banggar juga tak cukup serta AC tidak dingin, ucapnya.
Tim Trilokanews sempat mempertanyakan kembali ke staf Dewan bagian ruang sound sistem ini sebenarnya rapat apa penjelasan staf dewan diruang sound sistem ini rapat tentang LKPJ Bupati untuk anggaran APBD 2026. Sedangkan staf dewan sdr. Eko, lain hal bahwa ini rapat internal khusus pembahasan dengan Tim TAPD dan Dewan. Dan bukan hanya media yang disuruh keluar yang mewakili Kepala OPD juga disuruh keluar ruangan. Alasannya, karena rapat ini dikhususkan untuk Kepala OPD tak boleh diwakilkan, katanya.
Secara umum, rapat konsultasi atau rapat kerja antara Badan Anggaran (Banggar) DPRD dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dapat dilaksanakan secara tertutup dan sering kali tidak menggunakan ruang rapat paripurna. Mengenai sifat rapat (Tertutup vs. Terbuka), Rapat Paripurna pada dasarnya bersifat terbuka untuk umum, karena merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi dan bagian dari transparansi serta akuntabilitas pemerintah daerah kepada publik.
Rapat Kerja atau Rapat Konsultasi antara alat kelengkapan DPRD (seperti Banggar atau komisi) dengan TAPD, terutama dalam tahap pembahasan awal atau detail mengenai Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) atau RAPBD, idealnya atau sering kali diadakan secara tertutup berdasarkan kesepakatan bersama pimpinan dan peserta rapat.
Hal ini dimaksudkan untuk mematangkan konsep dan mencapai kesepakatan internal sebelum dibawa ke forum yang lebih luas. Meskipun ada pandangan yang mengemukakan bahwa rapat tertutup dapat menyuburkan korupsi, secara regulasi, pimpinan rapat memiliki kewenangan untuk menentukan sifat rapat (terbuka atau tertutup) berdasarkan musyawarah dan kesepakatan peserta, kecuali untuk rapat paripurna yang bersifat pengambilan keputusan akhir.
Mengenai Penggunaan Ruang Paripurna
Rapat paripurna adalah sidang resmi tertinggi yang dihadiri seluruh anggota dewan untuk memutuskan kebijakan atau peraturan daerah. Rapat Banggar/Komisi dengan TAPD adalah rapat internal alat kelengkapan dewan. Penggunaan ruang rapat paripurna untuk rapat kerja teknis semacam ini tidak umum dilakukan karena ruang paripurna memiliki fungsi spesifik untuk sidang pleno dewan. Rapat dengan TAPD biasanya dilakukan di ruang rapat komisi atau badan anggaran.
Memang benar DPRD diberikan untuk menggelar rapat secara tertutup, dengan catatan mendapatkan persetujuan bersama. Dalam ketentuan Pasal 90 ayat (3) PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Tatib DPRD, disebutkan bahwa, “Selain rapat DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), rapat DPRD dinyatakan terbuka atau tertutup oleh pimpinan rapat berdasarkan kesepakatan peserta rapat”. Jadi sepanjang tidak dimaknai “rapat paripurna” dan “rapat dengar pendapat umum”.
Maka DPRD diberikan opsi untuk menggelar rapat tertutup. Lantas apa kategori rapat yang boleh dilakukan secara tertutup tersebut? Apakah hanya berdasarkan kesepakatan peserta rapat semata? Rapat tertutup tentu saja harus disertai dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang rationable dan dapat diterima oleh nalar publik. Sebagai contoh, rapat Badan Kehormatan (BK) terkait agenda pemeriksaan anggota DPRD yang diduga melakukan pelanggaran etik. Itu bisa saja dilakukan secara tertutup, dengan alasan keamanan serta demi kelancaran jalannya pemeriksaan.
Selain norma yang diatur dalam PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Tatib DPRD, rapat-rapat yang digelar tertutup juga bertentangan dengan norma yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebabasan Informasi Publik (UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP). Sebagai badan publik, DPRD punya tanggung jawab penuh untuk membuka dan menyediakan informasi secara layak kepada publik. Salah satunya adalah informasi menyangkut dinamika yang terjadi dalam setiap rapat-rapat yang digelar oleh DPRD. Publik berhak tahu, bagaimana sikap dan keseriusan wakil-wakilnya dalam memperjuangkan aspirasinya masing-masing. Hal ini termasuk juga hak publik untuk mengetahui keputusan-keputusan yang diambil dalam setiap rapat-rapat DPRD, beserta dasar pertimbangan-pertimbangannya. Dalam ketentuan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP, informasi seputar jalannya rapat serta keputusan-keputusan yang dihasilkan, diaktegorikan sebagai informasi yang wajib disediakan setiap saat oleh badan publik.
Tidak jarang kita menemukan DPRD menggelar rapat-rapat yang sifatnya tertutup, padahal tidak memiliki alasan yang memadai. Kondisi ini sering kita dapat, terutama ketika DPRD sedang membahasan agenda yang berkaitan dengan anggaran. Mulai dari pembahasan APBD disetiap tahapan, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Pemerintah, laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), rapat-rapat antara Badan Anggara (Banggar) DPRD dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), hingga yang terbaru adalah pembahasan refocusing dan rasionalisasi anggaran.
Jadi pertanyaannya adalah, kenapa rapat-rapat tersebut harus dilakukan secara tertutup? Ketertutupan pembahasan yang berkenaan dengan anggaran ini, mengindikasikan beberapa hal, yakni :
1. Politik transaksional. Salah satu karakteristik dari politik transaksional adalah aktivitas yang dilakukan di ruang-ruang tertutup. Untuk mengelabui “moral publik” dan menghindari tuntutan “etika parlementarian”, maka pengawasan publik mesti mereka hindari.
2. Pembahasan dalam ruang-ruang tertutup, bermakna mereka memang sedang merencanakan kejahatan. Persekongkolan selalu berawal dari lorong-lorong gelap yang jauh dari jangkauan publik. Jika pembahasan anggaran dilakukan melalui rapat-rapat tertutup, itu artinya sedang ada rencana untuk “mengaburkan” fakta, sekaligus “menghilangkan” jejak kejahatan yang dilakukan. Ketiga, perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang mengarah kepada tindak pidana korupsi. Kita harus paham jika korupsi itu subur dan berkembang dalam ruang-ruang gelap. Logikanya, tidak akan ada suap dan gratifikasi di tengah keramaian yang penuh dengan pantauan publik. Karena alasan inilah kenapa prinsip “transparansi” dan “keterbukaan” selalu dijadikan anti-tesa untuk melawan korupsi. Sebab hanya dengan keterbukaan dan transparansi inilah, kita bisa meminimalisir tindakan-tindakan korup dari para pejabat dan penyelenggara negara, termasuk DPRD.
Tim Trilokanews sangat kecewa atas hal terjadi pada hari ini Selasa, 23 Desember 2025, atas tindakan staf dewan tersebut, sesungguhnya rapat-rapat tertutup yang dilakukan oleh DPRD, terlebih jika dilakukan dalam forum rapat paripurna dan rapat dengar pendapat umum, tidak hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan transparansi, serta kebebasan informasi yang dilindungi oleh konstitusi dan perundang-undangan kita, namun juga melanggar norma hukum (legal norm) yang berlaku. Oleh sebab itu, DPRD dapat dikatakan telah melakukan semacam pembangkangan hukum (disobedience of law) karena tidak patuh terhadap ketentuan yang berlaku. Terlebih lagi, aturan-aturan itu justru dibuat oleh mereka sendiri. Demikian pula rapat-rapat tertutup yang diputuskan secara subjektif tanpa dasar yang kuat, jelas adalah bentuk pengingkaran terhadap nalar publik dan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Sebab rapat tertutup semacam itu, hanya akan menyuburkan korupsi, dan melanggengkan politik transaksional. (A_01).




